Baduy Luar; Lokasi Wisata Budaya Sunda

paket wisata suku baduy dalam memilih souvenir di banten

JIka Anda akan berkunjung ke Baduy luar, dapatkan paketnya dengan menghubungi Hotline  +62 857-8000-2200, Namun jika anda ingin mengetahui lebih jauh tentang kehidupan masyarakat Baduy luar, silahkan baca artikel ini sampai usai. 


WHATSAPP

H O T L I N E

+62 857-8000-2200

Baduy Luar – Orang Baduy, juga dikenal sebagai Urang Kanekes, memiliki keterkaitan yang erat dengan suku terbesar kedua di Jawa Barat, yaitu suku Sunda. Orang Baduy memiliki mayoritas besar unsur kebahasaan dan kebudayaan yang sama dengan suku Sunda.

Kelompok masyarakat Baduy terbagi menjadi dua bagian, yaitu Baduy Luar (Urang Kaluaran) yang berarti orang luar, dan Baduy Dalam (Urang Kajaroan) yang berarti orang dalam.

Kampung-kampung masyarakat Baduy Dalam terletak di tiga tempat di wilayah tanah adat yang mereka sebut taneuh larangan (tanah larangan). Di antara perbedaan keduanya, Baduy Dalam menempati wilayah di luar tanah larangan seperti Kaduketug, Curugseor, dan Cibengkung.

Wilayah perkampungan Baduy Dalam dianggap oleh sebagian orang Sunda sebagai prototipe perkampungan kelompok masyarakat Suku Sunda zaman dulu. Hal ini disebabkan oleh model dan penempatan rumah yang memanjang pada dua sisi lapangan dengan dua bangunan utama yang saling berhadapan, yaitu bale (bangunan besar tempat menerima tamu) dan rumah pu’un (rumah pemimpin spiritual masyarakat Suku Baduy).

Masyarakat Kanekes atau Baduy secara keseluruhan bukanlah masyarakat yang terasing atau terisolasi karena tidak bergaul dengan masyarakat umum. Masyarakat Kanekes merupakan masyarakat yang amat patuh dan mengikuti peraturan yang berlaku di sukunya.

Sejak zaman kekuasaan Kesultanan Banten hingga saat ini, masyarakat Kanekes masih secara rutin menjalankan upacara seba setiap satu tahun sekali. Mereka melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki dari Lebak Banten hingga ke tempat gubernur Banten untuk mengirimkan hasil panen seperti buah-buahan dan padi. Upaya ini dilakukan sebagai bukti bahwa masyarakat adat Kanekes patuh kepada penguasa.

Suku Baduy Luar berbeda dengan Suku Baduy dalam hal cara hidup dan aturan adat. Suku Baduy Luar lebih terbuka terhadap pengaruh luar dan teknologi modern, seperti alat elektronik, kendaraan bermotor, dan pakaian berwarna. Mereka juga lebih bersedia berinteraksi dengan orang luar dan menerima kunjungan wisatawan. Namun, mereka tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai leluhur mereka, seperti tidak menggunakan alas kaki, tidak memotong rambut, tidak membunuh hewan, dan tidak merusak alam.

Suku Baduy Luar tinggal di desa-desa yang mengelilingi atau berada di luar kawasan Baduy Dalam. Beberapa desa tersebut antara lain Kaduketuk, Gajeboh, Cikadu, Kadukolot, Cisagu, dan lain-lain. Mereka bermata pencaharian sebagai petani, peternak, dan pengrajin. Mereka juga memiliki keahlian dalam membuat kain tenun tradisional yang disebut kain koja.

Suku Baduy Luar memiliki kebudayaan yang kaya dan unik. Mereka memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Kanekes, yang merupakan dialek dari bahasa Sunda. Mereka juga memiliki upacara-upacara adat yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan seba (menghadap raja). Selain itu, mereka juga memiliki seni pertunjukan seperti tari-tarian dan musik tradisional.

Fasilitas Bagi Wisatawan di Suku Baduy Luar

Baduy Luar – Suku Baduy Luar menyediakan sejumlah kemudahan bagi wisatawan umum yang telah menjadi terbiasa dengan gaya hidup modern dan teknologi. Ada beberapa keuntungan yang dapat dinikmati oleh wisatawan yang menginap atau berkunjung ke wilayah Baduy Luar.

Beberapa rumah di sana dilengkapi dengan alat penghasil listrik yang menggunakan energi matahari, sehingga wisatawan dapat menggunakan gadget, lampu, dan peralatan elektronik lainnya. Salah satu alasan penggunaan listrik tenaga surya adalah untuk menjaga keaslian desa dan alam sekitarnya. Oleh karena itu, penggunaan jaringan listrik yang terhubung melalui kabel tidak diperbolehkan, mengingat tiang penyangga kabel listrik dapat merusak tanah dan kabel yang terurai dapat menghambat proses penebangan pohon. Selain itu, bahan bangunan rumah-rumah di Baduy Luar cenderung mudah terbakar, sehingga penggunaan listrik kabel juga memiliki risiko kebakaran yang tinggi.

Selain itu, lokasi Baduy Luar juga memberikan keuntungan jarak yang lebih dekat bagi wisatawan. Hanya diperlukan waktu sekitar 1 jam perjalanan atau sejauh 3 kilometer dari pintu masuk untuk mencapai kampung Baduy Dalam yang berada di pertengahan perjalanan (kampung Gajeboh).

Wisatawan diperbolehkan menginap selama satu malam dengan syarat harus mengikuti peraturan adat yang berlaku. Hampir setiap rumah di Baduy Luar sudah terbiasa dengan kunjungan tamu, sehingga tamu akan merasa diterima dengan hangat. Hal yang perlu diperhatikan sebelum menginap adalah membawa persediaan bahan makanan mentah sendiri atau dapat dibeli di pasar yang terletak di pintu masuk Desa Ciboleger. Bahan makanan tersebut nantinya akan disiapkan oleh pemilik rumah untuk disajikan kepada tamu.

Muasal Suku Baduy

Baduy Luar – Orang Baduy, atau lebih dikenal sebagai Urang Kanekes, merupakan salah satu kelompok masyarakat etnis Sunda yang tinggal di Provinsi Jawa Barat, khususnya di wilayah Kabupaten Lebak, Banten, terutama di pegunungan Kendeng, Desa Kanekes. Istilah “Baduy” digunakan oleh penduduk luar sebagai sebutan untuk masyarakat Baduy.

Asal kata ini dapat ditelusuri kembali ke peneliti Belanda yang kemungkinan mengaitkan kelompok masyarakat Baduy dengan kelompok Arab Badawi, yang juga dikenal sebagai kelompok nomaden yang suka berpindah tempat. Ada juga pendapat lain yang menghubungkan nama “Baduy” dengan Sungai dan Gunung Baduy yang terletak di bagian utara wilayah tersebut. Namun, masyarakat Baduy lebih suka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes, sesuai dengan nama wilayah tempat tinggal mereka, atau menggunakan sebutan lain yang merujuk kepada nama kampung di mana mereka tinggal, seperti Urang Cibeo.

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Baduy adalah dialek Bahasa Sunda Banten. Meskipun mereka tidak menguasai bahasa Indonesia, mereka tetap mampu berkomunikasi dengan lancar menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Indonesia umumnya. Masyarakat Baduy tidak diajarkan membaca dan menulis, sehingga pengetahuan mereka tentang kepercayaan, agama, adat istiadat, dan cerita nenek moyang mereka hanya tersimpan dalam tradisi lisan.

Menurut kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Baduy, mereka berasal dari keturunan “batara cikal”, yang merupakan tujuh dewa yang dikirim ke Bumi. Awalnya, mereka sering dikaitkan dengan manusia pertama, yaitu nabi Adam, dan mereka percaya bahwa nenek moyang mereka adalah Adam. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya juga merupakan penduduk Kanekes yang melakukan tugas pertapaan atau terpenjara (mandita) demi menjaga keharmonisan dunia.

Asal usul masyarakat Baduy memiliki beragam pandangan di antara sejarawan, dengan bukti sejarah yang konkret seperti prasasti, cerita rakyat tentang “tatar Sunda” yang memiliki informasi yang terbatas, serta catatan perjalanan pelaut Tiongkok dan Portugis. Masyarakat Baduy sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Bogor pada abad ke-16. Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, Banten merupakan wilayah perdagangan yang strategis karena adanya pelabuhan sebagai jalur laut yang menghubungkan pulau-pulau di Nusantara. Hal ini menyebabkan wilayah ujung barat Pulau Jawa memiliki pelabuhan yang cukup besar pada masa itu.

Sungai Ciujung juga digunakan sebagai sarana perdagangan dalam wilayah Baduy, di mana kapal-kapal kecil atau perahu digunakan untuk mengangkut hasil alam keluar dari wilayah tersebut. Oleh karena itu, penguasa pada saat itu, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Unum, memerintahkan pelestarian Sungai Ciujung agar tetap lestari. Keberadaan pasukan kerajaan untuk menjaga dan mempertahankan wilayah hutan lebat, sungai, dan bukit di wilayah Gunung Kendeng diduga menjadi awal mula masyarakat Baduy mendiami wilayah tersebut. Terdapat beragam pandangan tentang asal usul suku Baduy yang kemungkinan ditutup rapat, mungkin untuk melindungi masyarakat Baduy dari musuh-musuh Kerajaan Pajajaran.

Versi lain menyebutkan bahwa Raden Kian Santang, putra Prabu Siliwangi yang sebelumnya telah memeluk agama Islam di bawah pengaruh Sayyidina Ali, ingin menyebarkan Agama Islam di tanah Sunda, terutama di Kerajaan Pajajaran. Namun, Prabu Siliwangi yang sangat melekat pada kepercayaan Hindu-Buddha menolak untuk menganut Agama Islam dan mempertahankan keyakinannya.

Untuk menghindari perpecahan antara Prabu Siliwangi dan Raden Kian Santang, Prabu Siliwangi memilih menjauh dan bersembunyi bersama dengan 40 pengikut setianya di daerah ujung barat Pulau Jawa, tepatnya di wilayah Lebak, Banten. Prabu Siliwangi mengubah namanya menjadi Prabu Kencana Wungu untuk menyembunyikan keberadaannya.

Dalam masyarakat Baduy Dalam, Prabu tersebut berkuasa dengan 40 pengikut setianya, dengan maksud untuk berbalas dendam di masa depan dalam perang saudara antara masyarakat penganut Agama Islam dan masyarakat Baduy. Perang tersebut diwakili oleh tokoh Ki Saih, yang memiliki bulu di seluruh tubuhnya seperti monyet. Kehadiran Ki Saih didasarkan pada permohonan para wali Allah agar memenangkan kebenaran.

Kepercayaan Suku Baduy

Baduy Luar – Masyarakat Kanekes secara mayoritas menganut ajaran Sunda Wiwitan, yang merupakan pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Ajaran ini juga dipengaruhi oleh agama-agama lain seperti Islam, Buddha, dan Hindu. Kepercayaan ini menjadi panduan dalam pengambilan keputusan adat yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy.

Prinsip utama dalam kepatuhan adat Baduy adalah “tanpa perubahan apapun” atau minimal perubahan, seperti pepatah “Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung” (Panjang tidak bisa atau tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

Objek yang paling penting dalam melakukan ritual atau sembahyang bagi masyarakat Baduy adalah Arca Domas. Arca Domas menjadi tempat yang sangat suci di wilayah Baduy, dan hanya dikunjungi sekali dalam setahun, pada bulan kelima. Tidak semua orang diizinkan mengunjungi tempat ini, hanya Puun sebagai pemegang adat tertinggi dan orang-orang yang dipilih yang diizinkan untuk melakukan pemujaan di sana.

Di Kompleks Arca Domas terdapat batu lumping yang berfungsi menyimpan air hujan. Batu lumping juga digunakan sebagai patokan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi ladang dalam waktu dekat. Jika batu lumping terisi air kotor, itu menandakan curah hujan rendah dan kemungkinan gagal panen. Namun, jika batu lumping berisi air bersih, itu menandakan curah hujan tinggi dan hasil panen yang baik. Beberapa kalangan juga mempercayai bahwa ajaran Baduy merupakan ajaran adat Sunda sebelum masuknya agama Islam.

Gaya Hidup yang Unik

Baduy Luar – Salah satu ciri khas gaya hidup Suku Baduy adalah penolakan terhadap kemajuan teknologi modern. Mereka mempertahankan kebiasaan hidup tanpa listrik, telepon, dan perangkat elektronik lainnya. Dalam masyarakat Baduy, interaksi sosial masih sangat berpusat pada komunikasi langsung antarindividu dan kegiatan sehari-hari yang melibatkan interaksi manusia dengan alam.

Keterikatan Suku Baduy dengan alam juga tercermin dalam cara mereka memanfaatkan sumber daya alam. Mereka mengandalkan pertanian dan perkebunan sebagai mata pencaharian utama, dengan tanaman seperti padi, singkong, dan kelapa menjadi sumber makanan pokok mereka. Masyarakat Baduy terbiasa hidup secara mandiri, menghasilkan kebutuhan sehari-hari mereka sendiri tanpa bergantung pada barang-barang dari luar.

Suku Baduy Dalam

Baduy Luar – Gaya Hidup Suku Baduy dalam Menurut Kang Aldi pada tahun 2021, merupakan perwujudan dari nilai-nilai budaya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Baduy. Wilayah Baduy Dalam terdiri dari tiga kampung utama, yaitu Cibeo, Cikesik, dan Citra Damar, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Puun atau tetua adat. Adat istiadat Baduy Dalam memiliki sejumlah peraturan yang harus ditaati oleh masyarakatnya, antara lain:

  • Larangan menggunakan sandal, sepatu, atau alas kaki apa pun.
  • Larangan menggunakan sarana transportasi atau kendaraan.
  • Larangan menanam singkong di wilayah ladang Baduy Dalam.
  • Larangan menggunakan deterjen untuk mandi atau mencuci di sungai Baduy Dalam.
  • Seluruh rumah kecuali rumah Puun harus menghadap ke selatan atau ke utara. Aktivitas pertanian hanya boleh menggunakan golok, dan penggunaan alat perkakas lainnya tidak diperbolehkan.
  • Pembangunan rumah dilakukan tanpa menggunakan alat perekat, dan hanya dengan mengikat menggunakan ijuk atau rotan.
  • Bangunan rumah harus menggunakan bahan utuh, misalnya kayu yang dikuliti dari kulit pohon, dan batang pohon tidak boleh diubah bentuknya.
  • Tidak diperkenankan membawa gadget, terutama untuk keperluan hiburan.
  • Merokok tidak diizinkan.
  • Tanah yang akan digunakan untuk membangun rumah harus tetap dalam keadaan apa adanya.

Gaya hidup unik ini menggambarkan komitmen kuat masyarakat Baduy dalam menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya mereka. Melalui aturan-aturan tersebut, mereka berusaha untuk mempertahankan keaslian dan keutuhan lingkungan serta gaya hidup mereka yang sederhana.

Gaya Hidup Luar

Baduy Luar – Secara umum, banyak peraturan yang masih berlaku di Baduy Luar mirip dengan Baduy Dalam, seperti larangan hewan ternak berukuran besar masuk ke area Baduy baik Luar maupun Dalam. Namun, Baduy Luar telah memperbolehkan beberapa perubahan, seperti proses pembangunan rumah yang menggunakan alat-alat bantu seperti gergaji, palu, dan paku, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. Penggunaan sepeda motor tetap dilarang di kedua wilayah tersebut. Berikut ini adalah beberapa peraturan yang berlaku di Baduy Luar tetapi tidak diizinkan di Baduy Dalam:

  • Penggunaan alas kaki diperbolehkan.
  • Penggunaan sarana transportasi diizinkan.
  • Penanaman singkong hanya diizinkan di beberapa wilayah Baduy Luar.
  • Penggunaan deterjen diperbolehkan bagi wisatawan dan masyarakat Baduy Luar selama masih berada di wilayah sungai Baduy Luar.
  • Pembangunan rumah boleh menggunakan paku dalam jumlah terbatas.
  • Bahan bangunan dapat dibentuk sesuai kebutuhan.
  • Penggunaan gadget diizinkan bagi warga Baduy Luar.
  • Merokok diizinkan bagi warga Baduy Luar dan wisatawan.
  • Tanah untuk bangunan rumah dapat ditinggikan atau diberi pondasi batu.
  • Penggunaan pakaian modern diizinkan.

Perubahan ini mencerminkan sikap fleksibilitas Baduy Luar dalam menghadapi modernitas, sambil tetap mempertahankan beberapa aspek penting dari warisan adat mereka. Meskipun ada penyesuaian, prinsip kehidupan sederhana dan nilai-nilai budaya tetap menjadi landasan bagi masyarakat Baduy Luar.


Baduy Luar – Baduy Luar.

Simpulan dan FAQ Baduy Luar

Baduy Luar – Suku Baduy Luar merupakan bagian dari masyarakat Baduy yang memiliki dinamika unik dalam menjaga adat dan tradisi mereka. Dalam menghadapi modernitas, Suku Baduy Luar menunjukkan sikap toleransi yang memungkinkan mereka menerima beberapa perubahan dan kemudahan yang disebabkan oleh teknologi. Meskipun demikian, mereka tetap berpegang pada sebagian besar aturan adat Baduy Dalam yang menjadi pijakan utama kehidupan mereka.

Kelebihan yang dimiliki Suku Baduy Luar bagi wisatawan umum adalah kemudahan akses dan fasilitas yang sedikit lebih modern. Mereka memanfaatkan energi matahari untuk menghasilkan listrik yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti menyalakan gadget dan lampu. Selain itu, Suku Baduy Luar juga memperbolehkan penggunaan alat-alat bantu dalam proses pembangunan rumah, sejalan dengan perkembangan teknologi konstruksi.


Q : Apa itu Baduy Luar?

A : Baduy Luar adalah salah satu kelompok masyarakat Baduy yang tinggal di bagian terluar dari kawasan tanah adat Baduy. Kawasan tinggal masyarakat Baduy Luar inilah yang kemudian menjadi tujuan wisata.

Q : Apa perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar?

A : Perbedaan utama antara Baduy Dalam dan Baduy Luar terletak pada penampilan dan gaya hidup mereka. Suku Baduy Dalam mengenakan pakaian serba putih, dengan ikat kepala yang kadang juga bisa berwarna hitam, sedangkan suku Baduy Luar didominasi warna hitam dengan ikat kepala biru.

Q : Apakah ada pantangan yang harus diikuti oleh masyarakat Baduy Luar?

A : Ya, meskipun sudah mengenal teknologi, masyarakat Baduy luar tetap berpegang pada adat istiadat berikut berbagai pantangannya. Terbukti sampai saat ini, masyarakat Baduy luar tidak menggunakan alas kaki, tidak bepergian ke luar kawasan Baduy lebih dari 7 hari, dan tetap memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan.

Q : Apakah ada perbedaan dalam pakaian adat antara Baduy Dalam dan Baduy Luar?

A : Ya, ada perbedaan pakaian adat yang dikenakan antara masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar. Pakaian Adat Baduy Luar terdiri dari tiga bagian utama yakni ikat kepala, baju dan kain sarung atau celana Komprang. Selain warna hitam yang mendominasi, Baduy Luar juga memiliki warna khas lain yakni biru tua motif batik.

Q : Bagaimana caranya dapat berkunjung ke Baduy Luar?

A : Untuk dapat berkunjung ke Baduy luar, Anda bisa dapatkan paketnya dengan menghubungi Hotline  +62 857-8000-2200.


Home » Baduy Luar; Lokasi Wisata Budaya Sunda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *