Suku Baduy

Masyarakat Baduy, yang juga dikenal sebagai orang Kanekes, telah menjadi destinasi wisata budaya dan alam yang menarik perhatian. Mereka merupakan sebuah komunitas kecil yang merupakan bagian dari suku Sunda. Dengan populasi sekitar 12.000-13.000 orang, masyarakat Baduy tinggal di daerah pedalaman pegunungan Kendeng, di provinsi Banten. Mereka mendiami kawasan seluas sekitar 50 km2 yang terdiri dari sekitar 40-50 kampung. Pada abad ke-16, masyarakat Baduy memilih untuk menjaga keaslian budaya mereka dengan menolak pengaruh budaya asing dan memilih hidup terpencil di pegunungan Kendeng.

Masyarakat Baduy dengan tekun berusaha untuk mempertahankan cara hidup tradisional yang dianut oleh nenek moyang mereka. Dua prinsip utama yang mereka anut adalah kepercayaan pada Tuhan yang tunggal, yang diyakini bermukim di pegunungan Kendeng, serta menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam. Prinsip-prinsip hukum adat Baduy mengajarkan bahwa bukit tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, apa yang telah ada sejak lama tidak boleh dipercepat, dan apa yang pendek seharusnya tidak boleh diperpanjang. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, masyarakat Baduy melarang pengolahan kembali tanah yang telah digunakan untuk pertanian, termasuk melarang budidaya padi di sawah. Mereka juga tidak menggunakan bahan-bahan anorganik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam upaya menjaga kelestarian alam, rumah-rumah mereka dibangun dengan menggunakan sistem panggung, di mana batu-batu menopang struktur rumah mereka. Masyarakat Baduy memiliki sejumlah larangan yang sangat dijunjung tinggi, seperti larangan menggunakan sandal atau sepatu, memelihara hewan, membawa barang dengan alat transportasi modern, menggunakan listrik, dan masih banyak lagi. Semua larangan ini bertujuan untuk menjaga harmoni dengan hutan dan sungai serta menghindari kerusakan alam.

Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam terdiri dari sekitar 1.150 orang yang tinggal di kampung Tangtu Telu, Desa Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Baduy Dalam sangat memegang teguh prinsip-prinsip nenek moyang mereka dan menjalani kehidupan dengan cara tradisional. Masyarakat Baduy Dalam dianggap sebagai pelindung keseimbangan alam karena mereka merawat hutan, sungai, dan gunung-gunung di sekitar mereka, sehingga manusia dapat hidup secara harmonis dengan alam.

Sebaliknya, Baduy Luar memiliki hubungan yang lebih terbuka dengan dunia luar. Meskipun mereka juga mengenakan pakaian tradisional, mereka tinggal di sekitar 40 desa penyangga yang bertujuan melindungi kesucian Baduy Dalam dari pengaruh luar. Baduy Luar terlibat dengan dunia luar namun tetap berusaha menjaga kemurnian dan keaslian Baduy Dalam.

Belakangan ini, terjadi peningkatan hubungan antara masyarakat Baduy dengan dunia luar, terutama melalui sektor pariwisata yang berkonsep ekowisata dan wisata budaya. Namun, perkembangan ini juga menimbulkan kekhawatiran akan pengaruhnya terhadap gaya hidup dan budaya masyarakat Baduy. Terutama dengan kepentingan usaha yang muncul di wilayah Baduy yang kaya akan sumber daya alam, ada potensi ancaman terhadap kelestarian dan keaslian budaya masyarakat Baduy.

Suku Baduy merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki keunikan dan kekhasan budaya yang sangat menarik untuk dipelajari. Terletak di kawasan Banten Selatan, suku ini hidup secara terisolasi dan mempertahankan tradisi serta gaya hidup mereka yang sangat tradisional.

Dalam upaya untuk lebih memahami dan mengenal Suku Baduy, diperlukan penelusuran mendalam terkait aspek geografis, sosial, budaya, dan religi yang menjadi identitas mereka. Wilayah tempat tinggal suku ini dikelilingi oleh pegunungan yang memberikan lanskap yang indah dan alami.

Salah satu hal menarik mengenai Suku Baduy adalah kehidupan mereka yang sangat sederhana dan terpisah dari modernitas. Mereka mempertahankan tradisi agraris dengan bertani dan bercocok tanam sebagai mata pencaharian utama. Perawatan padi dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan bahan kimia.

Sistem sosial Suku Baduy juga menarik perhatian. Mereka memiliki tata nilai yang kuat dalam menjaga kebersamaan, saling tolong menolong, dan menjunjung tinggi adat istiadat. Sistem kepercayaan dan ritual keagamaan mereka yang masih dijaga dengan ketat menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari.

Kunjungan ke daerah Suku Baduy juga memberikan kesempatan untuk mengenal lebih dekat pakaian adat mereka yang khas serta kehidupan sehari-hari yang masih dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional. Meskipun hidup dalam keterbatasan dan kesederhanaan, suku ini memiliki kehidupan yang harmonis dan damai.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang Suku Baduy, kita dapat menghargai keanekaragaman budaya dan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia. Menjaga kelestarian budaya dan lingkungan hidup mereka menjadi tanggung jawab bersama dalam upaya melestarikan keberagaman dan keunikan budaya bangsa.

Dengan mengenal Suku Baduy, kita dapat memperluas wawasan tentang keberagaman budaya di Indonesia dan mengapresiasi nilai-nilai tradisional yang menjadi warisan berharga bagi generasi masa kini dan masa depan.

Wilayah Suku Baduy

Wilayah Kanekes secara geografis terletak di sekitar koordinat 6°27’27” – 6°30’0″ LS dan 108°3’9″ – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Masyarakat Kanekes menetap di wilayah Kanekes, yang terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten. Wilayah ini berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung dan merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng. Topografi wilayah ini terdiri dari bukit-bukit dan perbukitan dengan ketinggian antara 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL), memiliki lereng yang cenderung bergelombang dengan kemiringan rata-rata mencapai 45%. Tanah di wilayah ini terdiri dari tanah vulkanik di bagian utara, tanah endapan di bagian tengah, dan tanah campuran di bagian selatan. Suhu rata-rata wilayah ini adalah 20°C.

Masyarakat Kanekes terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu Kanekes Dalam dan Kanekes Luar (Baduy Luar). Kelompok Kanekes Dalam menetap di tiga desa utama, yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sementara itu, kelompok Kanekes Luar tinggal di berbagai kampung yang tersebar di sekitar wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar memiliki ciri khas dalam pakaian mereka, dengan menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

Adapun beberapa faktor yang menyebabkan seseorang dikeluarkan dari Kanekes Dalam dan pindah ke Kanekes Luar antara lain melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam atau memiliki keinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam.

Ciri-ciri masyarakat Kanekes Luar antara lain:

  • Penggunaan Teknologi: Meskipun penggunaan teknologi adalah larangan bagi semua warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar, mereka telah mengenal teknologi seperti peralatan elektronik. Namun, mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara yang rahasia agar tidak terdeteksi oleh pengawas dari Kanekes Dalam.
  • Pembangunan Rumah: Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar melibatkan penggunaan alat-alat bantu seperti gergaji, palu, paku, dan sejenisnya, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
  • Pakaian Adat: Masyarakat Kanekes Luar menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua untuk laki-laki, yang merupakan simbol bahwa mereka dianggap tidak suci. Terkadang mereka juga menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Peralatan Rumah Tangga: Masyarakat Kanekes Luar menggunakan peralatan rumah tangga modern seperti kasur, bantal, piring, serta gelas kaca dan plastik.
  • Tempat Tinggal: Masyarakat Kanekes Luar tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam, di berbagai kampung yang tersebar di sekitar wilayah tersebut.

Selain itu, terdapat kelompok lain yang disebut “Kanekes Dangka” yang tinggal di luar wilayah Kanekes. Saat ini, terdapat dua kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka berfungsi sebagai zona buffer untuk melindungi pengaruh dari luar terhadap wilayah Kanekes (Permana, 2001).

Asal Mula Suku Baduy

  • Baduy atau orang Kanekes merupakan suatu komunitas masyarakat adat Sunda yang bermukim di Kabupaten Lebak, Banten.. Nama “Baduy” diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, terinspirasi oleh para peneliti Belanda yang mengaitkannya dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan kelompok yang berpindah-pindah (nomaden). Nama tersebut juga mungkin berasal dari Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang terletak di bagian utara wilayah mereka. Masyarakat Baduy lebih suka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau menggunakan sebutan yang merujuk pada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
  • Masyarakat Baduy sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda (Pajajaran) pada abad ke-15 dan ke-16. Pada masa itu, Kerajaan Pajajaran yang terletak di Bogor memiliki pelabuhan dagang yang penting di Banten, sehingga perlindungan terhadap wilayah tersebut sangat dibutuhkan. Tugas pengamanan ini dilakukan oleh pasukan khusus yang mengelola daerah berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng. Keberadaan pasukan ini dipercaya sebagai akar dari suku Baduy.
  • Terdapat juga keyakinan bahwa awal mula keberadaan suku Baduy adalah sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia kepada Prabu Siliwangi. Mereka melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon. Namun akhirnya, mereka dilindungi oleh Kesultanan Banten dan diberikan otonomi khusus.
  • Meskipun kita mengenal mereka sebagai orang Baduy, mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes (orang Kanekes). Mereka tinggal di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, yang terletak di kaki pegunungan Kendeng. Desa ini berjarak sekitar 120 km dari pusat perkotaan Jakarta. Wilayah ini adalah bagian dari Pegunungan Kendeng, dengan ketinggian antara 300-600 m di atas permukaan laut. Wilayah ini terdiri dari bebukitan bergelombang dengan kemiringan rata-rata tanah sekitar 45 persen.
  • Secara umum, masyarakat Kanekes dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Kelompok tangtu, yang dikenal juga sebagai Baduy Dalam, adalah kelompok yang paling ketat dalam menjalankan adat istiadat. Mereka tinggal di tiga kampung utama, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Orang Baduy Dalam memiliki ciri khas dalam berpakaian, yaitu mengenakan pakaian berwarna putih alami dan biru tua, serta menggunakan ikat kepala putih.
  • Di sisi lain, terdapat kelompok masyarakat panamping yang dikenal sebagai Baduy Luar. Mereka tinggal di berbagai kampung yang tersebar di sekitar wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain-lain. Masyarakat Baduy Luar memiliki ciri khas dalam berpakaian, yakni mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
  • Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengakui bahwa mereka adalah keturunan Bhatara Cikal, salah satu dari tujuh dewa yang diutus turun ke bumi untuk menjaga keseimbangan dunia. Mereka meyakini bahwa tanah tempat tinggal mereka, yang disebut sebagai Pancer Bumi, adalah pusat dunia, tempat di mana manusia pertama kali diturunkan ke bumi.
  • Keyakinan orang Kanekes berbeda dengan pandangan para ahli sejarah yang melakukan penelitian berdasarkan bukti-bukti sejarah seperti prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat tentang wilayah geografis di Jawa Barat yang dikenal sebagai “Tatar Sunda”. Menurut penelitian ini, asal-usul masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Padjadjaran, yang sebelum kejatuhan pada abad ke-16 berpusat di Galuh Pakuan (kawasan sekitar Bogor saat ini).
  • Menurut K. Adimihardja dalam bukunya yang berjudul “Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai” (Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47–59), pada masa tersebut, wilayah ujung barat Pulau Jawa merupakan bagian yang penting dari Kerajaan Padjadjaran sebagai pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung digunakan sebagai jalur pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Pangeran Pucuk Ulum, penguasa wilayah ini, menganggap penting untuk menjaga keamanan wilayah tersebut. Oleh karena itu, pasukan kerajaan ditugaskan untuk menjaga kawasan hutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng. Keberadaan pasukan dengan tugas khusus ini diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Baduy yang saat ini mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng.
  • Mengenai keberadaan suku Baduy yang tampaknya menjauhkan diri dari perkembangan masyarakat, diduga bahwa di masa lalu mereka adalah anggota kelompok masyarakat Kerajaan Padjadjaran yang menyelamatkan diri dari serangan musuh. Oleh karena itu, identitas dan jati diri mereka sengaja disembunyikan, mungkin untuk melindungi komunitas Baduy dari musuh-musuh Padjajaran.
  • Namun, Y. Garna dalam bukunya “Masyarakat Baduy di Banten” yang termasuk dalam Seri Etnografi Indonesia No.4, Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Gramedia Pustaka Utama, 1993, membantah pendapat ini. Dia mengutip penuturan Van Tricht, seorang dokter yang melakukan penelitian kesehatan di tengah masyarakat Baduy pada tahun 1928. Van Tricht menyangkal teori tersebut dan mengatakan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang memiliki ketahanan yang kuat terhadap pengaruh dari luar..

Kehidupan sosial dan budaya Suku Baduy

paket wisata suku baduy dalam perempuan lebak banten
paket wisata suku baduy dalam perempuan lebak banten

Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Baduy merupakan contoh yang menarik tentang bagaimana suatu komunitas dapat mempertahankan tradisi dan nilai-nilai adat mereka dalam menghadapi tekanan modernisasi dan globalisasi. Dengan memilih isolasi dan mempertahankan pola hidup sederhana, masyarakat Baduy berhasil memelihara warisan budaya mereka yang kaya dan autentik.

Kehidupan sosial mereka didasarkan pada prinsip kesederhanaan, kedamaian, dan harmoni dengan alam dan sesama manusia. Dalam masyarakat Baduy, hierarki adat yang dipimpin oleh Puun berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam komunitas. Selain itu, interaksi yang terbatas dengan masyarakat luar melalui kunjungan tetap memungkinkan mereka menjaga hubungan yang harmonis dan saling memahami.

Budaya masyarakat Baduy tercermin dalam pakaian tradisional mereka, di mana Baduy Dalam lebih cenderung mengenakan pakaian putih-putih, sementara Baduy Luar mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala berwarna biru yang berhiasan motif batik. Selain itu, mereka juga memiliki keahlian dalam kerajinan tangan seperti Koja dan Jarog, serta tenunan yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Komitmen kuat masyarakat Baduy terhadap kebudayaan dan nilai-nilai adat mereka telah menjadikan mereka sebagai salah satu kelompok masyarakat adat yang unik dan menarik di Indonesia. Keberlanjutan budaya mereka bergantung pada upaya mereka untuk menjaga tradisi dan melibatkan generasi muda dalam mempelajari dan meneruskan warisan budaya yang berharga ini.

  • Suku Baduy menetap di daerah terpencil di Jawa Barat, dengan desa terakhir yang dapat dijangkau oleh kendaraan adalah Ciboleger. Wilayah yang merekahuni meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama “Baduy” sendiri berasal dari sungai yang melintasi wilayah tersebut, yaitu Sungai Cibaduy. Di desa ini, terdapat kelompok masyarakat Baduy Luar yang telah mengalami interaksi dengan masyarakat Sunda lainnya. Mereka juga dikenal sebagai “Urang Panamping”. Salah satu ciri khas mereka adalah pemakaian pakaian berwarna hitam. Secara umum, orang Baduy Luar telah terpengaruh oleh budaya luar, termasuk pendidikan formal yang memungkinkan mereka untuk membaca, menulis, dan berbahasa Indonesia. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Selain itu, mereka juga terampil dalam kerajinan tangan, seperti membuat tas koja yang terbuat dari anyaman kulit kayu.
  • Suku Baduy menetap di daerah terpencil di Jawa Barat, dengan desa terakhir yang dapat dijangkau oleh kendaraan adalah Ciboleger. Wilayah yang merekahuni meliputi Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna. Nama “Baduy” sendiri berasal dari sungai yang melintasi wilayah tersebut, yaitu Sungai Cibaduy. Di desa ini, terdapat kelompok masyarakat Baduy Luar yang telah mengalami interaksi dengan masyarakat Sunda lainnya. Mereka juga dikenal sebagai “Urang Panamping”. Salah satu ciri khas mereka adalah pemakaian pakaian berwarna hitam. Secara umum, orang Baduy Luar telah terpengaruh oleh budaya luar, termasuk pendidikan formal yang memungkinkan mereka untuk membaca, menulis, dan berbahasa Indonesia. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Selain itu, mereka juga terampil dalam kerajinan tangan, seperti membuat tas koja yang terbuat dari anyaman kulit kayu.
  • Kelompok terbesar dalam masyarakat Baduy disebut sebagai Baduy Luar atau Urang Panamping, yang tinggal di sebelah utara Kanekes. Jumlah anggotanya diperkirakan sekitar 7 ribu orang yang tersebar di 28 kampung dan 8 anak kampung. Sementara itu, di bagian selatan terdapat masyarakat Baduy Dalam atau Urang Tangtu, dengan perkiraan jumlah sekitar 800 orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana. Kedua kelompok ini memiliki perbedaan dalam ciri-cirinya. Baduy Dalam merujuk pada Baduy Luar sebagai Urang Kaluaran, sementara Baduy Luar menyebut Baduy Dalam sebagai Urang Girang atau Urang Kejeroan. Selain itu, pakaian yang dikenakan oleh Baduy Dalam cenderung didominasi oleh warna putih, sedangkan Baduy Luar lebih sering mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala berwarna biru yang berhiasan motif batik. Dalam memenuhi.
  • Kelompok terbesar dalam masyarakat Baduy disebut Baduy Luar atau Urang Panamping, yang mendiami wilayah sebelah utara Kanekes. Jumlah anggota kelompok ini diperkirakan sekitar 7 ribu orang yang tersebar di 28 kampung dan 8 anak kampung. Sementara itu, di bagian selatan terdapat masyarakat Baduy Dalam atau Urang Tangtu, yang diperkirakan berjumlah sekitar 800 orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawana. Kedua kelompok ini memiliki perbedaan dalam ciri-cirinya. Baduy Dalam merujuk kepada Baduy Luar sebagai Urang Kaluaran, sedangkan Baduy Luar menyebut Baduy Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Selain itu, pakaian yang sering dikenakan oleh Baduy Dalam didominasi oleh warna putih-putih, sementara Baduy Luar lebih banyak mengenakan pakaian hitam dengan ikat kepala bercorak batik warna biru. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat Baduy, yang memiliki prinsip kesederhanaan sebagai inti konsep mereka, tidak mengandalkan bantuan dari luar. Mereka hidup secara mandiri melalui pertanian dan bertani. Selain itu, mereka juga menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), serta produk tenunan seperti selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, dan parang. Masyarakat Baduy sangat taat kepada pemimpin tertinggi yang disebut Puun. Puun bertanggung jawab atas penegakan hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat Baduy yang mengikuti ajaran Sunda Wiwitan, warisan leluhur mereka. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipegang oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo, dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan, peran wakil pemimpin adat diemban oleh Jaro Tangtu yang bertugas sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah, atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar, terdapat sistem pemerintahan kepala desa yang dikenal sebagai Jaro Pamerentah, dengan bantuan Jaro Tanggungan, Tanggungan, dan Baris Kokolot.
  • Masyarakat Baduy yang mendiami wilayah seluas 5.108 hektar (merupakan desa terluas di Provinsi Banten) secara sengaja memilih untuk mengisolasi diri dari dunia luar dan dengan tegas menolak pengaruh dari masyarakat lain. Mereka menjadikan daerah mereka sebagai tempat yang suci, terutama di Penembahan Arca Domas, serta sebagai tempat yang keramat. Meskipun demikian, mereka tetap menjalin komunikasi yang harmonis dengan masyarakat luar melalui kunjungan, meskipun interaksinya terbatas.

Struktur Pemerintahan Suku Baduy

Struktur pemerintahan Kanekes mencerminkan keunikan dan kestabilan dalam menjalankan tatanan adat mereka. Dalam masyarakat Kanekes, peran Pu’un sebagai pemimpin adat tertinggi memiliki peran sentral dalam menjaga keharmonisan dan melaksanakan hukum adat. Selain itu, keberadaan jaro sebagai pelaksana sehari-hari pemerintahan adat memastikan terjadinya koordinasi efektif dalam menjalankan berbagai urusan masyarakat. Jabatan-jabatan yang ada dalam jaro, seperti jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah, memiliki tanggung jawab yang berbeda namun saling terkait dalam menjaga keberlangsungan kehidupan adat Kanekes. Melalui struktur pemerintahan yang terorganisir dengan baik, masyarakat Kanekes dapat mempertahankan identitas budaya dan nilai-nilai tradisional mereka.

  • Kepemimpinan adat di masyarakat Kanekes dipegang oleh “Pu’un”, yang merupakan pemimpin adat tertinggi. Pu’un ini menjabat di tiga kampung tangtu dan jabatannya diturunkan secara turun-temurun. Namun, peralihan jabatan tersebut tidak selalu otomatis dari ayah ke anak, melainkan juga bisa melibatkan kerabat lain dalam kelompok tersebut. Durasi jabatan Pu’un tidak ditentukan secara spesifik, melainkan bergantung pada kemampuan individu yang menjabat.
  • Pelaksanaan pemerintahan adat sehari-hari, yang dikenal sebagai kapu’unan (kepu’unan), dilakukan oleh jaro. Jaro terbagi menjadi empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum adat di kalangan warga tangtu dan berbagai urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan merawat tanah titipan nenek moyang yang berada di dalam dan di luar wilayah Kanekes. Terdapat sembilan orang jaro dangka, dan jika ditambahkan dengan tiga orang jaro tangtu, mereka dikenal sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut jaro tanggungan. Jaro pamarentah, dalam konteks adat, berperan sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional. Tugasnya didukung oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur, yang merupakan tetua kampung.

Menjaga Warisan Alam

Dalam masyarakat Kanekes, keyakinan spiritual mereka dikenal sebagai Sunda Wiwitan yang memiliki akar pada pemujaan arwah nenek moyang (animisme) yang kemudian dipengaruhi oleh agama Hindu kuno. Salah satu aspek penting dari kepercayaan ini adalah keberadaan Arca Domas, sebuah arca sakral yang dipuja sekali dalam setahun dan terletak di tempat yang misterius serta dirahasiakan lokasinya. Masyarakat Kanekes melaksanakan ritual pemujaan terhadap Arca Domas pada bulan Kalima. Hanya Pu’un sebagai pemimpin adat tertinggi dan beberapa anggota terpilih dari masyarakat yang berkesempatan untuk ikut dalam rombongan pemujaan tersebut.

Dalam bukunya yang berjudul “Arca Domas Baduy: Sebuah Referensi Arkeologi dalam Penafsiran Ruang Masyarakat Megalitik” (C.E. Permana, Arheologi Indonesia di Net, 2003), disebutkan bahwa lokasi Arca Domas memiliki sebuah batu lumpang yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan air hujan. Selama upacara pemujaan, keadaan air di batu lumpang tersebut memiliki makna tertentu. Apabila air dalam batu lumpang tersebut jernih dan penuh, hal ini menandakan bahwa tahun tersebut akan mengalami curah hujan yang melimpah dan hasil panen akan berhasil dengan baik. Sebaliknya, jika batu lumpang tersebut kering atau airnya keruh, hal ini menjadi pertanda bahwa panen akan mengalami kegagalan.

Inti kepercayaan masyarakat Kanekes tercermin dalam penerapan pikukuh atau ketentuan adat yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu konsep utama yang mendasari pikukuh tersebut adalah pola hidup yang bertujuan untuk melestarikan warisan alam, yang tercermin dalam ungkapan “Lojor heunteu menang dipotong, pèndèk heunteu menang disambung, kurang henteu menang ditambah, leuwih henteu menang dikurang”. Artinya, hal-hal yang memiliki keberlangsungan panjang tidak boleh diputus, yang memiliki keberlangsungan pendek tidak boleh disambung, yang kekurangan tidak boleh ditambah, dan yang berlebih tidak boleh dikurangi. Konsep ini mencerminkan nilai-nilai penting dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan yang berkelanjutan.

Tabu atau pantangan ketat yang tercakup dalam pikukuh tersebut dipatuhi dengan sungguh-sungguh oleh masyarakat Kanekes. Ketika mereka berladang atau bertani, mereka tidak mengubah kontur lahan dengan cara yang melanggar aturan. Mereka melaksanakan kegiatan berladang secara praktis dan sederhana, tanpa menggunakan cangkul atau bajak untuk mengolah tanah. Mereka juga tidak membuat terasering. Sebagai gantinya, mereka menanam dengan menggunakan tugal, yaitu sepotong bambu yang ujungnya diruncingkan, untuk membuat lubang tempat benih ditanamkan. Dengan demikian, mereka mengikuti pantangan tersebut dalam menjaga kelestarian alam dan menjalankan kehidupan yang seimbang dengan lingkungan sekitar.

Masyarakat Baduy Dalam tetap teguh memegang adat istiadat mereka dan menjalani kehidupan sebagaimana dilakukan oleh leluhur mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka masih mematuhi berbagai pantangan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tetap memegang prinsip untuk tidak menggunakan sabun, tidak menumpang mobil atau mengendarai sepeda motor, dan bahkan tidak pernah menggunakan sepatu. Ketika mereka perlu bepergian ke Jakarta atau tempat lain, mereka rela menempuh perjalanan selama tiga hari tiga malam dengan berjalan kaki. Daftar pantangan tabu bagi mereka sangat panjang, antara lain tidak bersekolah, tidak menggunakan kaca, tidak menggunakan paku besi, tidak mengkonsumsi alkohol, dan tidak beternak binatang berkaki empat, serta masih banyak lagi. Mereka dengan tegas mematuhi pantangan-pantangan ini sebagai bagian penting dari menjaga keaslian dan kesucian hidup mereka.

Prinsip kearifan yang dijunjung tinggi dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Baduy telah menjadikan mereka sebagai komunitas yang mandiri, baik dari segi sosial maupun ekonomi. Dalam situasi ketika krisis keuangan global melanda dunia dan mengguncang perekonomian kita pada awal milenium ini, suku Baduy tidak terpengaruh oleh kesulitan tersebut. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemandirian yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mampu menghadapi tantangan dengan sumber daya yang dimiliki dan mengandalkan pengetahuan serta ketrampilan tradisional mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam konteks ini, masyarakat Baduy menjadi contoh inspiratif tentang betapa pentingnya memiliki kemandirian dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian dalam dunia ekonomi global.

Orang Baduy tidak hanya mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan tempat tinggal. Mereka tidak membeli beras, tetapi menanamnya sendiri. Mereka tidak membeli pakaian, tetapi membuat kain sendiri melalui tenunan. Bahkan, kayu yang digunakan untuk membangun rumah mereka ditebang dari hutan mereka sendiri, dengan menjaga keutuhan dan kelestariannya. Menurut Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy, sekitar 3.000 hektar dari total 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy dijaga dengan baik untuk melindungi 120 mata air yang ada.

Dalam menjaga kemandirian mereka, masyarakat Baduy memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitar mereka dengan bijak. Mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan tradisional yang memungkinkan mereka untuk hidup secara berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada barang-barang yang harus dibeli dari luar. Dalam hal ini, mereka menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan mereka dengan pelestarian alam sekitar, menjadikan mereka sebagai contoh nyata tentang pentingnya hidup harmonis dengan lingkungan dan bergantung pada diri sendiri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

Kemandirian mereka dalam mengonsumsi seperti halnya penduduk perkotaan tercermin dalam beberapa aspek lainnya. Masyarakat Baduy tidak menggunakan listrik sebagai sumber penerangan. Mereka juga tidak menggunakan pupuk buatan pabrik dalam bercocok tanam. Selain itu, mereka membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan infrastruktur seperti jalan desa dan lumbung padi.

Dengan memilih untuk hidup secara sederhana dan mengandalkan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka, masyarakat Baduy mampu mengembangkan cara hidup yang berkelanjutan. Mereka tidak tergantung pada teknologi modern atau bahan-bahan buatan manusia, melainkan mengandalkan pengetahuan dan keterampilan tradisional mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kemandirian ini bukan hanya merupakan cara hidup mereka, tetapi juga merupakan suatu nilai yang mereka anut dengan teguh. Dengan mengandalkan diri sendiri dan menggunakan sumber daya alam secara bijak, mereka menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan. Hal ini menunjukkan kearifan dan keberlanjutan dalam pola hidup mereka, serta menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dihadapi di era modern saat ini.

Suku Baduy, Pantang Merugikan!

Sekali pun tidak sepantasnya menuduh suku Baduy Dalam sebagai suku yang terbelakang. Ternyata, mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik dalam teknik pertanian dan bercocok tanam, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan. Menurut Boedihartono, seorang antropolog dari Universitas Indonesia yang pernah melakukan penelitian selama beberapa tahun terhadap suku Baduy, mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Namun, mereka belajar di ladang dan memperoleh kearifan hidup dari pengalaman di alam terbuka. Hal yang sangat membanggakan adalah perilaku mereka yang mencerminkan moralitas utama, menjadi pedoman utama bagi kepribadian dan perilaku mereka sehari-hari. Bahasa dan tindakan mereka sederhana, jujur tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Oleh karena itu, banyak orang merasa senang berinteraksi dengan suku Baduy karena mereka memiliki prinsip pantang merugikan orang lain.

Guna menjaga kesucian adat dan melindungi dari adanya pengaruh budaya luar yang dibawa oleh para wisatawan saat mengunjungi pemukiman Baduy, secara berkala kepala desa Baduy Dalam, yang juga dikenal sebagai jaro, melakukan inspeksi mendadak ke desa Baduy Luar. Tujuan dari inspeksi tersebut adalah untuk memeriksa apakah ada benda-benda yang dapat merusak kepercayaan mereka. Terkadang, mereka menyita radio yang dianggap dapat mengganggu kelestarian adat mereka. Selama ini, tanpa kebisingan sepeda motor, radio, televisi, atau mesin lainnya yang menghasilkan suara dan asap, desa-desa Baduy tetap menjadi tempat yang tenang. Bunyi alat penenun menjadi irama lembut yang menemani kedamaian alam di sana.

Namun, mempertahankan kedamaian di tengah keramaian dunia modern yang penuh dengan kegiatan bising dan riuh ini menjadi semakin sulit. Contohnya, saat ini terlihat bahwa anak-anak Baduy mulai “meninggalkan” pakaian tradisional mereka yang terdiri dari kain tenunan tangan berwarna hitam dan putih, dan beralih mengenakan kaos seragam sepakbola Italia yang berwarna-warni dan mencolok. Mereka yang sebelumnya menghindari perdagangan dan penggunaan uang dengan menerapkan sistem barter, akhirnya terlibat dalam proses perdagangan.

Kaum Baduy Luar telah lama melibatkan diri dalam aktivitas jual beli, di mana mereka menjual kain sarung yang mereka tenun serta menjual madu dan gula kelapa kepada penduduk di sekitar wilayah tempat tinggal mereka. Hal ini dilakukan karena mereka membutuhkan uang tunai untuk membeli ikan asin, garam, dan berbagai kebutuhan lainnya yang tidak dapat mereka hasilkan sendiri.

Orang-orang Baduy menghadapi ancaman serius dalam bentuk persepsi yang menilai mereka sebagai masyarakat primitif yang perlu “dibudayakan”. Selain tekanan dari pihak luar yang ingin merasuki wilayah mereka yang indah dan alami demi kepentingan ekonomi, beberapa individu juga berusaha membujuk mereka untuk “menerima pencerahan” dan mengadopsi agama Islam. Hal ini terlihat dari praktik sunat yang dilakukan terhadap anak-anak Baduy, yang bertentangan dengan aturan adat Baduy yang melarang penggunaan obat-obatan dan peralatan medis modern.

Namun, di tengah arus globalisasi yang memikat dengan segala daya tariknya dan tekanan dari berbagai kepentingan ekonomi, serta munculnya dorongan konsumtif yang didorong oleh ekonomi kapitalis sebagai “kebutuhan” abad ini, apakah orang-orang Baduy tetap mampu kokoh mempertahankan kebijaksanaan hidup dan norma tradisi yang telah mereka anut selama ini?

Memang benar, banyak anggota masyarakat Baduy yang berhasil bertahan melawan godaan berbagai komoditas yang menggoda. Mereka juga mengembangkan kecerdasan emosional dan intelektual, seperti belajar membaca dan berhitung secara mandiri. Namun, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas pada Sabtu, 27 Maret 2010, saat ini terdapat anggota Baduy Dalam yang mulai menggunakan telepon genggam dalam komunikasi, meskipun hal tersebut dilakukan secara rahasia. Tidak dapat dipungkiri bahwa keaslian dan daya tarik budaya Baduy dapat tergerus oleh rayuan pesona kemudahan dan kenikmatan globalisasi. Melalui janji-janji dan impian-impian yang pada akhirnya menjadi pemicu terjadinya erosi budaya Baduy, situasi yang pernah terjadi dalam kebudayaan Bali juga dapat terulang kembali.

Suku Baduy, suku yang masih bertahan hingga saat ini, telah berhasil mempertahankan gaya hidup mereka yang berdampingan dengan alam. Mereka menciptakan masyarakat yang harmonis, sejahtera, dan makmur tanpa terpengaruh oleh dunia luar yang dipenuhi dengan modernitas dan kemajuan zaman.

Mata Pencaharian Suku Baduy

Mata pencaharian komunitas Baduy terutama melibatkan kegiatan bertani dan penjualan hasil buah-buahan yang mereka peroleh dari hutan. Selain itu, sebagai bentuk pengakuan dan ketaatan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara teratur melaksanakan upacara adat yang dikenal sebagai seba. Upacara ini diadakan setahun sekali dan melibatkan pengantaran hasil panen kepada penguasa setempat, yaitu Gubernur Banten. Melalui kegiatan ini, terjalinlah interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar.

Ketika mata pencaharian mereka di ladang tidak mencukupi, orang-orang Baduy sering kali melakukan perjalanan ke kota-kota besar di sekitar wilayah mereka dengan cara berjalan kaki. Biasanya mereka berangkat dalam kelompok kecil, terdiri dari 3 hingga 5 orang, untuk menjual madu dan kerajinan tangan mereka guna memenuhi kebutuhan hidup. Awalnya, perdagangan dilakukan secara barter, namun sekarang sudah beralih menggunakan mata uang rupiah. Orang Baduy menjual hasil pertanian dan buah-buahan mereka melalui para tengkulak, sementara kebutuhan hidup yang tidak dapat diproduksi sendiri mereka beli di pasar. Pasar yang diakses oleh orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes, seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Suku Baduy menjalani kehidupan yang sangat terikat oleh peraturan adat, yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antar sesama dan kelestarian alam. Mereka mengadopsi pola hidup yang sederhana dan menghindari penggunaan barang-barang “modern” seperti sabun, kosmetik, piring, gelas, dan peralatan pabrik. Penggunaan listrik, radio, dan televisi juga dilarang. Semua hal tersebut dianggap tabu atau pamali dalam budaya mereka.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat Baduy yang menganut prinsip kesederhanaan tidak pernah mengandalkan bantuan dari luar. Mereka memiliki kemampuan mandiri yang kuat dalam memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat Baduy dapat mencukupi kebutuhan mereka dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), serta menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy seperti Koja dan Jarog yang terbuat dari kulit kayu Teureup. Mereka juga memiliki keahlian dalam menenun berbagai jenis kain seperti selendang, baju, celana, ikat kepala, dan sarung. Selain itu, mereka juga terampil dalam berburu dan membuat golok/parang.

Masyarakat Baduy dapat diibaratkan sebagai sebuah negara yang memiliki sistem tata kehidupan yang diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Segala wewenang yang didasarkan pada kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pemimpin tertinggi mereka, yaitu Puun. Puun bertanggung jawab sebagai pengawas hukum adat dan pengaturan kehidupan masyarakat, dan dalam menjalankan tugasnya, Puun dibantu oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sebagai bentuk kesetiaan kepada Pemerintahan Republik Indonesia, setiap akhir tahun suku Baduy, yang jumlahnya sekitar 7.512 jiwa dan tersebar di 67 kampung, mengadakan upacara Seba sebagai penghormatan kepada “Bapak Gede” (panggilan untuk Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar.

Pemukiman masyarakat Baduy terletak di daerah perbukitan, dengan ketinggian terendah mencapai 800 meter di atas permukaan laut. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan rimba di sekitar pegunungan Kendeng merupakan wilayah yang kaya akan sumber mata air yang masih alami dan terhindar dari polusi.

Pemukiman masyarakat Baduy umumnya terletak di lereng gunung, celah bukit, dan lembah yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar dan dekat dengan sumber mata air. Keberadaan semak belukar yang hijau di sekitarnya juga ikut memperindah pemandangan dan memberikan suasana yang sejuk dan tenang. Di tempat ini, terdapat keheningan dan kedamaian kehidupan yang sederhana.

Busana Adat Suku Baduy

Terdapat dua kelompok masyarakat yang membentuk suku Baduy, yaitu Baduy Luar yang juga dikenal sebagai Panamping, yang tinggal di 36 kampung di luar wilayah inti, dan Baduy Dalam yang dikenal sebagai Kajeroan, yang tinggal di tiga kampung utama. Kelompok Baduy Dalam sendiri dibagi berdasarkan asal keturunan mereka yang disebut sebagai tangtu, yakni tangtu Cibeo, tangtu Cikertawana, dan tangtu Cikeusik.

Menurut perspektif suku Baduy, mereka berasal dari satu garis keturunan yang memiliki keyakinan, perilaku, dan tujuan hidup yang sama. Hal ini tercermin dalam pakaian yang mereka kenakan. Meskipun ada perbedaan dalam hal busana, perbedaan tersebut hanya terletak pada bahan, model, dan warna yang digunakan. Baduy Dalam adalah bagian dari masyarakat yang dengan teguh mempertahankan warisan budaya leluhur mereka dan tidak terpengaruh oleh pengaruh budaya luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang telah mulai mengadopsi elemen budaya luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari cara mereka berpakaian, yang dipengaruhi oleh status sosial, usia, dan fungsi tertentu. Perbedaan dalam busana hanya bergantung pada jenis kelamin dan tingkat ketaatan terhadap adat istiadat, yaitu antara Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Pada Baduy Dalam, pria mengenakan pakaian lengan panjang yang disebut jamang sangsang. Pakaian ini dikenakan dengan cara menyelipkannya atau melekatkan di tubuh. Desain jamang sangsang memiliki lubang di bagian leher dan dada. Potongan pakaian ini tidak memiliki kerah, kancing, atau kantong. Umumnya, warna pakaian mereka adalah putih. Pembuatan pakaian dilakukan secara manual tanpa menggunakan mesin jahit. Bahan yang digunakan harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.

Untuk bagian bawahnya, mereka mengenakan kain serupa sarung dengan warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan di sekitar pinggang. Untuk menjaga agar sarung tetap kuat dan tidak melorot, mereka mengikatnya dengan selembar kain. Pada pakaian tradisional mereka, mereka tidak menggunakan celana karena dianggap sebagai barang yang tabu.

Selain baju dan kain sarung yang dililitkan sebelumnya, suku Baduy Dalam juga melengkapi busananya dengan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup bagi rambut mereka yang panjang. Selain itu, mereka juga menggunakan selendang atau hasduk yang melingkar di leher. Pakaian tradisional Baduy Dalam yang berwarna putih polos memiliki makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh oleh budaya luar.

Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka kenakan terdiri dari baju kampret berwarna hitam. Ikat kepala yang mereka gunakan memiliki warna biru tua dengan corak batik. Desain baju mereka terbelah menjadi dua bagian hingga ke bawah, mirip dengan baju yang umum dipakai oleh orang banyak. Potongan bajunya menggunakan kantong, kancing, dan bahan dasarnya tidak harus terbuat dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memiliki sedikit keleluasaan jika dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model, dan corak busana Baduy Luar, dapat diketahui bahwa kehidupan mereka telah terpengaruh oleh budaya luar.

Kelengkapan busana bagi kaum pria Baduy memiliki tingkat kepentingan yang tinggi. Bagi mereka, busana pria tidaklah lengkap tanpa adanya senjata. Baik itu bagi Baduy Dalam maupun Baduy Luar, saat bepergian mereka selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di pinggang mereka. Selain itu, pakaian mereka biasanya dilengkapi dengan tas kain atau tas koja yang mereka cangklekkan (menggantungkan) di pundak mereka.

Sementara itu, busana yang dikenakan oleh wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping, tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam hal model, potongan, dan warna pakaian, kecuali pada baju mereka yang sama. Mereka mengenakan busana berupa sarung berwarna biru kehitam-hitaman yang meliputi bagian dari tumit hingga dada. Pakaian seperti ini umumnya digunakan sebagai pakaian sehari-hari di dalam rumah. Bagi wanita yang telah menikah, umumnya mereka membiarkan bagian dada terbuka secara bebas, sementara bagi gadis-gadis, bagian dada harus tertutup. Ketika bepergian, wanita Baduy biasanya mengenakan kebaya, kain tenun sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang, dan selendang. Warna baju yang digunakan oleh Baduy Dalam adalah putih, dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang mereka tenun sendiri.

Dalam memenuhi kebutuhan pakaian mereka, masyarakat suku Baduy secara mandiri menenun kain sendiri, yang kegiatan ini dilakukan terutama oleh kaum wanita. Prosesnya dimulai dengan menanam biji kapas, kemudian biji kapas tersebut dipanen, dipintal, dan ditenun sesuai dengan motif khas mereka. Penggunaan warna pada pakaian terbatas hanya pada hitam, biru tua, dan putih. Kain sarung atau kain wanita memiliki corak yang hampir sama, yaitu dengan dasar hitam dan garis-garis putih, sedangkan selendang memiliki variasi warna putih, biru, dan kadang-kadang dipadukan dengan warna merah.

Hasil tenunan yang dihasilkan oleh masyarakat suku Baduy umumnya digunakan untuk keperluan sendiri dan jarang dijual. Kegiatan menenun biasanya dilakukan oleh wanita setelah masa panen. Mereka menghasilkan berbagai jenis busana seperti baju, kain sarung, kain wanita, selendang, dan ikat kepala. Selain itu, ada juga kerajinan yang dilakukan oleh kaum pria, seperti pembuatan golok dan tas koja. Golok dibuat menggunakan kulit pohon teureup dan benang yang dicelup, sedangkan tas koja terbuat dari kulit pohon teureup.

Dilihat dari model, potongan, dan cara berbusananya saja, dengan mudah dapat dikenali bahwa seseorang tersebut berasal dari suku Baduy. Bagi suku Baduy, pakaian mereka tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya yang melekat pada mereka. Mereka meyakini bahwa pakaian tersebut adalah warisan yang diwariskan oleh karuhun atau nenek moyang mereka, yang harus dijaga dengan baik.

Pola Bercocok Tanam Suku Baduy

Polapun bercocok tanam yang diamalkan oleh masyarakat Baduy sangatlah konservatif dan terikat pada adat istiadat nenek moyang mereka. Sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi mereka, masyarakat Baduy menjalankan serangkaian ritual khusus ketika hendak memulai musim tanam. Upacara pembersihan lahan sebelum penanaman, yang dikenal sebagai nyacar, dianggap sangat penting. Selain itu, mereka juga melaksanakan ritual ngaduruk, yakni membakar lahan agar menjadi subur. Selanjutnya, upacara ngaseuk dilakukan untuk memulai proses penanaman padi. Saat menentukan waktu penanaman, masyarakat Baduy masih mengandalkan pengamatan bintang yang mengarahkan mereka.

Masyarakat Baduy memiliki berbagai jenis padi yang mereka tanam. Bahkan, diperkirakan ada sekitar 40 jenis padi yang tumbuh di sekitar wilayah Baduy. Nama-nama jenis padi tersebut sangat khas dengan bahasa Sunda lokal, seperti pare koneng, pare salak, pare siang, dan pare ketan.

Dalam perawatan padi, suku Baduy memiliki pendekatan yang berbeda dengan petani umumnya yang menggunakan bahan kimia. Mereka menjalankan perawatan padi secara tradisional.

Petani Baduy umumnya menggunakan ramuan alami yang terbuat dari berbagai macam tanaman seperti cangkudu, tamiang, gempol, pacing tawa, dan lajak. Ramuan ini diolah dengan mencampurkannya dengan air tuak, kemudian diaplikasikan pada tanaman yang mulai tumbuh dewasa. Metode ini mereka sebut sebagai penggunaan pestisida alami.

Gudang penyimpanan padi di suku Baduy, yang dikenal sebagai lumbung atau disebut leuit dalam bahasa Baduy, memiliki struktur dasar yang terbuat dari bambu yang dianyam sebagai dindingnya. Bagian atapnya dilapisi dengan hateup, yaitu daun kelapa kering atau ijuk yang terbuat dari serabut pohon areng.

Apabila kita mengamati dengan cermat, kita akan menemukan bahwa lumbung-lumbung tersebut dilengkapi dengan papan bundar yang berfungsi sebagai perlindungan dari hama, seperti tikus. Meskipun ukuran lumbung biasanya tidak terlalu besar, namun dapat menampung sekitar 3.000 ikat padi dan mampu bertahan dalam jangka waktu yang lama, bahkan konon hingga ratusan tahun.

Simpulan Suku Baduy dan Referensi

Sumber tulisan

Sumber :  Daftar rujukan 

  • Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
  • Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
  • Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net.
  • Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net.
  • Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
  • Ekadjati, Edi S. (1995). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Garna, Judhistira (1988). Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo.
  • Iskandar, Johan (1992). Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
  • Permana, R. Cecep Eka (1996). Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Semua rujukan bersumber dari tulisan berjudul Masyarakat Baduy, Desa Kanekes, Lewidamar, Lebak Banten, Hand-out PKL III (Geografi Terpadu) Porgram Studi Pendidikan Geografi – FISE UNY 2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *