Suku Baduy Barasal dari?, Mungkin itu salah satu pertanyaan yang tersirat dalam pikiran anda ketika melihat sebuah photo seseorang dengan menggunakan pakian putih hitam, bertelanjang kaki dengan ikat kepala berwarna putih atau corak batik biru tua. Jauh sebelum anda menghubungi Hotline +62 857-8000-2200. mengikuti wisata Suku Baduy Dalam, inilah sekelumit tentang keberadaan suku Baduy.
H O T L I N E
+62 857-8000-2200Mengenal Suku Baduy
Suku Baduy Berasal Dari – Suku Badui, yang juga dikenal sebagai Sunda Badui (dalam Bahasa Badui disebut sebagai Urang Kanékés, Urang Cibéo, atau sering disebut sebagai Badui, juga kadang-kadang ditulis secara tidak baku sebagai Baduy), merupakan sebuah komunitas masyarakat adat Sunda yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Populasi mereka diperkirakan mencapai sekitar 26.000 orang, dan mereka terkenal sebagai kelompok masyarakat yang menjaga diri mereka dari pengaruh dunia luar. Selain itu, mereka memiliki keyakinan dan tradisi yang dianggap tabu untuk didokumentasikan, terutama di wilayah Badui Dalam.
Suku Badui merupakan salah satu sub-suku dari suku Sunda, dan mereka dianggap sebagai masyarakat Sunda yang belum terpengaruh oleh modernisasi atau kelompok yang secara hampir total terisolasi dari dunia luar. Mereka menjaga keaslian dan keberlanjutan budaya mereka dengan tekun, serta mempertahankan tradisi-tradisi kuno yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Masyarakat Badui menolak penggunaan istilah “wisata” atau “pariwisata” untuk merujuk pada kampung-kampung mereka. Sejak tahun 2007, mereka memperkenalkan istilah “Saba Budaya Badui” sebagai alternatif, yang secara harfiah berarti “Silaturahmi Kebudayaan Badui”. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesakralan dan keunikan wilayah mereka, serta untuk menekankan pentingnya pelestarian budaya dan nilai-nilai tradisional yang dijunjung tinggi oleh Suku Badui.
Suku Badui menawarkan sebuah fenomena yang menarik dan penting untuk dipelajari. Budaya mereka yang terjaga dengan baik dan konservatif, serta kehidupan mereka yang harmonis dengan alam, memberikan wawasan yang berharga bagi pengamat dan peneliti dalam memahami hubungan antara manusia dan lingkungan, serta pentingnya menjaga kesinambungan budaya lokal dalam era globalisasi yang semakin meluas.
Dalam upaya menjaga keberlanjutan budaya dan kehidupan Suku Badui, penting bagi pemerintah dan masyarakat luas untuk menghormati keinginan mereka untuk menjaga privasi dan kerahasiaan wilayah mereka. Dalam hal ini, kerjasama antara pihak-pihak terkait, seperti akademisi, peneliti, pemerintah, dan masyarakat, dapat menjadi sarana untuk memperkuat pemahaman, apresiasi, dan pelestarian warisan budaya yang berharga ini, serta untuk mendukung kesejahteraan dan keberlanjutan masyarakat Suku Badui.
Suku Baduy Berasal Dari?
Suku Baduy Berasal Dari – Menurut kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kanekes, mereka mengakui diri mereka sebagai keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul ini sering dikaitkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk orang Kanekes, memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni dunia melalui praktik bertapa atau asketik (mandita).
Pendapat tentang asal-usul masyarakat Kanekes berbeda dengan pandangan para ahli sejarah. Para ahli sejarah mengandalkan sintesis berbagai bukti sejarah, termasuk prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’, meskipun sumber-sumber tersebut sangat terbatas. Masyarakat Kanekes sering dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran sebelum keruntuhannya pada abad ke-16. Wilayah barat Pulau Jawa, tempat berdirinya Kesultanan Banten, dulunya merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten menjadi pusat perdagangan yang ramai, dengan Sungai Ciujung yang bisa dilayari berbagai jenis perahu, menjadi jalur pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Wilayah tersebut dianggap penting oleh penguasa setempat, yang dikenal sebagai Pangeran Pucuk Umun, sehingga sepasukan tentara kerajaan terlatih ditugaskan untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan lebat di Gunung Kendeng. Kehadiran pasukan ini mungkin menjadi cikal bakal masyarakat Kanekes yang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng hingga saat ini.
Pendapat yang berbeda ini menunjukkan bahwa pada masa lalu, identitas dan sejarah masyarakat Kanekes disimpan dengan sengaja, mungkin untuk melindungi komunitas Kanekes dari ancaman musuh dari Pajajaran.
Seorang dokter bernama Van Tricht yang melakukan penelitian kesehatan pada tahun 1928 menolak teori tersebut. Menurutnya, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang memiliki ketahanan kuat terhadap pengaruh luar. Orang Kanekes sendiri menolak klaim bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda, masyarakat Badui merupakan penduduk setempat yang secara resmi ditetapkan sebagai mandala, wilayah suci, oleh raja. Masyarakat ini memiliki kewajiban untuk menjaga kabuyutan, tempat suci nenek moyang mereka, bukan mempraktikkan agama Hindu atau Buddha. Tempat suci ini dikenal sebagai Kabuyutan Jati Sunda, juga dikenal sebagai ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan, yang artinya adalah agama asli mereka, yakni Sunda Wiwitan.
Wilayah
Suku Baduy Berasal Dari – Suku Badui menetap di daerah yang terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Pemukiman mereka terpusat di sepanjang aliran sungai Ciujung yang termasuk dalam wilayah Cagar Budaya Pegunungan Kendeng.[3] Secara geografis, Kanekes berada pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0″ LS dan 108°3’9″ – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Masyarakat Badui tinggal di lereng Pegunungan Kendeng, sekitar 40 km dari Kota Rangkasbitung. Wilayah ini, yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng, memiliki ketinggian antara 300 hingga 600 meter di atas permukaan laut (DPL). Topografi daerah ini berbukit-bukit dengan kemiringan rata-rata tanah mencapai 45%, dan terdiri dari tanah vulkanik di bagian utara, tanah endapan di bagian tengah, serta tanah campuran di bagian selatan. Suhu rata-rata di wilayah ini sekitar 20 °C.[butuh rujukan]
Desa-desa utama di Kanekes Dalam terdiri dari Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, yang menjadi pusat kehidupan dan aktivitas masyarakat Badui. Setiap desa memiliki keunikan dan ciri khasnya sendiri dalam hal struktur sosial, tata cara hidup, dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam desa-desa ini, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Badui terjaga dengan baik, dan mereka menjaga keharmonisan dengan alam sekitar serta menerapkan pola hidup yang sederhana dan ramah lingkungan.
Kehidupan sehari-hari Suku Badui didominasi oleh aktivitas pertanian, seperti bertani dan beternak, yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Mereka memiliki sistem tata ruang yang terorganisir dengan baik di dalam desa-desa, yang mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Masyarakat Badui juga memiliki adat dan tradisi yang dijaga dengan baik, seperti upacara adat, musik dan tarian tradisional, serta seni kerajinan yang unik.
Kehadiran Suku Badui memiliki nilai penting dalam studi pariwisata dan ilmu kebudayaan. Budaya mereka yang kaya dan autentik menawarkan wawasan yang berharga tentang keberagaman budaya dan pentingnya pelestarian warisan budaya. Studi lebih lanjut tentang Suku Badui dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang interaksi antara manusia dan alam, pengaruh modernisasi terhadap komunitas adat, serta upaya pelestarian budaya lokal dalam konteks globalisasi.
Untuk menjaga keberlanjutan budaya Suku Badui, penting bagi pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas untuk berkomitmen dalam menjaga privasi dan kerahasiaan wilayah mereka, serta menghormati nilai-nilai dan tradisi mereka. Upaya kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak dapat membantu mempromosikan pemahaman, apresiasi, dan pelestarian warisan budaya Suku Badui, sambil memperhatikan kesejahteraan dan keberlanjutan komunitas mereka.
Kepercayaan
Suku Baduy Berasal Dari – Kepercayaan yang dipegang oleh masyarakat Kanekes, yang dikenal sebagai ajaran Sunda Wiwitan, merupakan warisan leluhur yang menghormati karuhun atau arwah nenek moyang dan mempercayai kekuatan spiritual alam (animisme). Meskipun kebanyakan aspek ajaran ini merupakan tradisi turun-temurun, seiring berjalannya waktu, pengaruh dari ajaran Hindu, Buddha, dan kemudian ajaran Islam juga sedikit mempengaruhi ajaran leluhur ini.
Salah satu bentuk penghormatan terhadap kekuatan spiritual alam ini tercermin dalam sikap menjaga dan melestarikan alam. Masyarakat Kanekes merawat lingkungan sekitar mereka, termasuk gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem yang ada di dalamnya. Mereka memberikan penghargaan yang tinggi kepada alam dengan cara menjaga hutan larangan sebagai upaya untuk mempertahankan keseimbangan alam semesta. Inti dari kepercayaan ini tercermin dalam pikukuh atau ketentuan adat yang menjadi landasan dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Salah satu prinsip utama dalam pikukuh tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa pun” atau minimalisasi perubahan:
“Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung” (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
Prinsip ini diaplikasikan secara harfiah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bidang pertanian, mereka tidak mengubah kontur lahan untuk ladang, sehingga cara bertani mereka sangat sederhana dengan tidak menggunakan bajak atau membuat terasering. Mereka hanya menanam dengan tugal, yaitu menancapkan sepotong bambu yang diruncingkan ke tanah. Begitu pula dalam pembangunan rumah, mereka mempertahankan kontur permukaan tanah yang ada, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering memiliki panjang yang tidak seragam. Masyarakat Kanekes juga terkenal karena kesederhanaan dalam perkataan dan tindakan, mereka jujur, tulus, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Salah satu objek kepercayaan paling penting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap sangat sakral. Setahun sekali, pada bulan Kalima, yang jatuh pada bulan Juli pada tahun 2003, masyarakat Kanekes mengunjungi lokasi ini untuk melakukan pemujaan. Hanya Pu’un atau ketua adat tertinggi beserta beberapa anggota masyarakat terpilih yang ikut dalam perjalanan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas, terdapat sebuah batu lumpang yang berfungsi sebagai penampung air hujan. Jika batu lumpang tersebut terisi penuh dengan air yang jernih pada saat pemujaan, maka hal itu dianggap sebagai pertanda bahwa tahun tersebut akan mengalami curah hujan yang melimpah dan panen akan berhasil dengan baik. Sebaliknya, jika batu lumpang tersebut kering atau berisi air keruh, itu dianggap sebagai pertanda gagal panen.
Bagi sebagian kalangan, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya agama Islam. Mereka mempertahankan tradisi leluhur dengan tekun dan menjaga harmoni dengan alam sekitar mereka. Keunikan kepercayaan dan praktik budaya ini telah menarik minat para ahli dan pengamat dalam mempelajari kekayaan warisan budaya masyarakat Kanekes.
Etimologi
Suku Baduy Berasal Dari – Istilah “Badui” digunakan oleh penduduk luar untuk merujuk kepada kelompok masyarakat tersebut, dan asal-usulnya bermula dari peneliti Belanda yang cenderung mengaitkannya dengan kelompok Arab Badawi yang memiliki gaya hidup berpindah-pindah (nomaden). Selain itu, kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang terletak di bagian utara wilayah tersebut. Namun, Suku Badui lebih menyukai sebutan “urang Kanekes” atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah tempat tinggal mereka, atau menggunakan sebutan yang merujuk kepada nama desa mereka seperti “Urang Cibeo” (Garna, 1993).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah “Badui”, bukan “Baduy”. Hal ini menunjukkan pentingnya menggunakan penulisan yang akurat dan sesuai dengan preferensi dan identitas masyarakat yang bersangkutan. Dengan menghormati preferensi mereka, kita dapat memperlihatkan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan memperkuat identitas masyarakat Suku Badui.
Dialek
Suku Baduy Berasal Dari – Bahasa yang digunakan oleh Suku Badui adalah Bahasa Sunda dengan dialek Badui yang khas. Meskipun demikian, mereka juga mampu berkomunikasi dengan lancar dalam Bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan orang-orang dari luar komunitas mereka, meskipun tanpa mendapatkan pengetahuan formal dari sekolah. Tradisi dan pengetahuan mereka tentang adat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan dalam bentuk tuturan lisan, karena mereka tidak mengenal budaya tulis.
Suku Badui menolak pendidikan formal yang diusulkan oleh pemerintah, karena dianggap bertentangan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak upaya pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga saat ini, meskipun pemerintah telah berusaha dengan tegas untuk mengubah gaya hidup mereka dan memperkenalkan fasilitas sekolah modern ke wilayah mereka sejak era Soeharto, orang Badui tetap kokoh dalam penolakan mereka. Namun demikian, masyarakat Badui memiliki cara unik mereka sendiri untuk belajar dan mengembangkan pengetahuan mereka, sehingga mereka tetap mampu berdampingan dengan masyarakat di luar komunitas Suku Badui.
Keunikan dan keteguhan Suku Badui dalam mempertahankan tradisi dan gaya hidup mereka yang terisolasi menjadikan mereka objek studi yang menarik bagi para ahli pariwisata dan peneliti budaya. Pemahaman yang mendalam tentang adat dan kehidupan mereka memungkinkan kita untuk menghargai kekayaan budaya mereka dan mempromosikan pemahaman lintas budaya kepada masyarakat luas.
Kelompok masyarakat
Suku Baduy Berasal Dari – Kelompok pertama, yang dikenal sebagai Kanekes Dalam atau Badui Dalam, merupakan kelompok yang paling ketat mematuhi adat istiadat mereka. Mereka tinggal di tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Orang Kanekes Dalam memiliki ciri khas pakaian putih alami dan biru tua (warna tarum), serta memakai ikat kepala putih. Mereka memiliki larangan adat untuk berinteraksi dengan orang asing dan mempertahankan kehidupan tradisional mereka.
Kanekes Dalam merupakan bagian penting dari keseluruhan masyarakat Badui. Berbeda dengan Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih mengikuti adat istiadat nenek moyang mereka dengan sungguh-sungguh. Beberapa peraturan yang mereka patuhi meliputi larangan menggunakan kendaraan bermotor, melarang penggunaan alas kaki, menghadapkan pintu rumah ke arah utara atau selatan (kecuali rumah kepala adat), serta larangan penggunaan teknologi elektronik dan pakaian modern.
Kelompok kedua, yang disebut panamping, adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar atau Badui Luar. Mereka tinggal di berbagai kampung di sekitar wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain-lain. Masyarakat Kanekes Luar memiliki ciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum).
Kanekes Luar merupakan warga yang telah keluar dari wilayah dan adat Kanekes Dalam. Beberapa alasan mengapa mereka menjadi bagian dari Kanekes Luar antara lain melanggar adat istiadat Kanekes Dalam, keinginan untuk keluar dari wilayah tersebut, atau menikah dengan anggota Kanekes Luar. Masyarakat Kanekes Luar telah terpengaruh oleh perkembangan teknologi, menggunakan alat-alat modern dalam pembangunan rumah, serta mengadopsi pakaian modern dan peralatan rumah tangga yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam. Sebagian dari mereka juga telah mengubah agama menjadi Islam.
Selain Kanekes Dalam dan Kanekes Luar, terdapat pula kelompok yang disebut Kanekes Dangka. Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, khususnya di kampung Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung-kampung Dangka ini berfungsi sebagai zona penyangga untuk melindungi pengaruh dari luar terhadap Suku Badui.
Keanekaragaman kelompok masyarakat Kanekes, baik Dalam, Luar, maupun Dangka, memberikan warna dan nilai yang kaya bagi budaya Badui. Kajian yang mendalam tentang tradisi dan kehidupan mereka tidak hanya memperkaya pengetahuan kita tentang keberagaman budaya, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih baik dalam menghormati dan menjaga kelestarian warisan budaya mereka.
Mata Pencaharian
Suku Baduy Berasal Dari – Selama berabad-abad, mata pencaharian utama masyarakat Kanekes tetap menjadi bertani padi huma. Mereka mengandalkan pertanian sebagai sumber utama penghidupan. Selain itu, mereka juga memperoleh penghasilan tambahan melalui penjualan buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan, seperti durian dan asam keranji. Selain itu, kegiatan pengumpulan madu hutan juga menjadi sumber penghasilan yang penting bagi mereka.
Pemerintahan
Suku Baduy Berasal Dari – Masyarakat Kanekes memiliki dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem pemerintahan nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem pemerintahan adat yang mengikuti tradisi dan kepercayaan masyarakat. Kedua sistem ini disatukan dan diakulturasikan dengan baik untuk menghindari konflik. Pada tingkat nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut “jaro pamarentah” dan berada di bawah pengawasan camat. Namun, secara adat, mereka tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang paling tinggi, yang dikenal sebagai “Pu’un”.
Pada masyarakat Kanekes, Pu’un merupakan jabatan kepemimpinan adat tertinggi yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan ini diturunkan secara turun-temurun, namun tidak secara otomatis dari ayah ke anak. Pemilihan Pu’un dapat melibatkan kerabat lain yang memenuhi syarat. Durasi jabatan Pu’un tidak ditentukan dengan jelas, tetapi bergantung pada kemampuan individu yang menjabat posisi tersebut.
Hubungan dunia luar Baduy
Suku Baduy Berasal Dari – Masyarakat Kanekes yang hingga saat ini tetap setia menjalankan adat-istiadat mereka tidak bisa disebut sebagai masyarakat terasing, terpencil, atau terisolasi dari perubahan yang terjadi di dunia luar. Keterlibatan mereka dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten adalah bukti kesadaran mereka terhadap hubungan dengan penguasa. Sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara berkala melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Hingga saat ini, upacara seba tersebut tetap dilaksanakan setiap tahun, di mana hasil pertanian seperti padi, palawija, dan buah-buahan dihantar kepada Gubernur Banten melalui Bupati Lebak di Kota Rangkasbitung. Dalam sektor pertanian, penduduk Kanekes Luar terlibat dalam interaksi yang erat dengan masyarakat di luar wilayah mereka, misalnya dalam hal penyewaan tanah dan tenaga kerja.
Perdagangan yang sebelumnya dilakukan dengan sistem barter, kini telah menggunakan mata uang rupiah sebagai alat transaksi yang umum. Masyarakat Kanekes menjual buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi masyarakat Kanekes terletak di luar wilayah mereka, seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Kunjungan orang luar ke wilayah Kanekes saat ini semakin meningkat, bahkan mencapai ratusan orang setiap kunjungan. Para pengunjung tersebut umumnya terdiri dari remaja sekolah, mahasiswa, dan dewasa lainnya. Masyarakat Kanekes menerima kedatangan pengunjung, bahkan memperbolehkan mereka menginap selama satu malam, dengan syarat bahwa pengunjung mematuhi adat-istiadat yang berlaku di sana. Beberapa aturan adat tersebut meliputi larangan mengambil foto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun, sampo, atau sikat gigi dengan pasta gigi di sungai, serta tidak boleh membuang sampah sembarangan. Namun, wilayah Kanekes tetap menjadi tempat yang terlarang bagi orang asing yang bukan warga negara Indonesia (non-WNI). Meskipun ada upaya beberapa wartawan asing untuk masuk ke wilayah tersebut, mereka selalu ditolak.
Ketika pekerjaan di ladang tidak begitu banyak, masyarakat Kanekes juga senang melakukan perjalanan ke kota-kota besar di sekitar wilayah mereka. Namun, mereka melakukan perjalanan tersebut dengan berjalan kaki. Secara umum, mereka pergi dalam kelompok kecil yang terdiri dari 3 hingga 5 orang, mengunjungi rumah kenalan yang pernah mengunjungi Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut, mereka biasanya mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Simpulan dan FAQ Suku Baduy Berasal Dari?
Suku Baduy Berasal Dari – Suku Baduy atau Badui merupakan kelompok masyarakat yang memiliki keunikan budaya dan kehidupan yang khas di wilayah Kanekes, Provinsi Banten, Indonesia. Mereka sangat menjaga adat-istiadat dan keyakinan leluhur turun-temurun, yang mengakar kuat dalam kepercayaan kepada karuhun atau arwah leluhur serta penghormatan terhadap roh kekuatan alam. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani padi huma, sambil juga menggantungkan diri pada penghasilan tambahan dari perdagangan buah-buahan, madu hutan, dan kerajinan tangan.
Suku Baduy telah berhasil mempertahankan identitas budaya mereka yang unik di tengah perkembangan zaman. Meskipun mereka terbuka terhadap kunjungan dari orang luar, wilayah Kanekes Dalam tetap dijaga dan dianggap terlarang bagi orang asing. Keberadaan Suku Baduy menjadi daya tarik bagi pengunjung yang tertarik untuk mempelajari dan menghargai kehidupan tradisional yang langka ini.
Dalam era globalisasi yang serba modern, keberadaan Suku Baduy menjadi simbol penting dalam upaya melestarikan warisan budaya Indonesia. Pemerintah dan pihak terkait perlu terus mendukung pelestarian budaya Suku Baduy dengan memperhatikan kebutuhan dan keinginan mereka dalam menjaga adat-istiadat dan gaya hidup tradisional. Pengembangan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan juga dapat membantu memperkenalkan keunikan budaya Suku Baduy kepada dunia luar tanpa mengorbankan integritas dan kelestariannya.
Dengan mempertahankan kearifan lokal dan menjaga nilai-nilai tradisional, Suku Baduy memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya memelihara identitas budaya dan menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Perjuangan mereka untuk melestarikan warisan leluhur tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat Baduy sendiri, tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya.
Suku Baduy adalah suku yang berasal dari Provinsi Banten. Suku ini tinggal di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Suku ini dikenal dengan keteguhannya dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi dan keseimbangan alam dan manusia. Suku ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar yang memiliki perbedaan dalam hal modernisasi, cara berpakaian, dan pola hidup
Silahkan Anda menghubungi Hotline +62 857-8000-2200 untuk dapat berkunjung ke Baduy Dalam atau suku Baduy Luar.